Senin, 28 Februari 2011

Di waktu itu............


Ini bukan salah kita, bukan salahku juga bukan salahmu. Ini hanyalah petualangan waktu yang menghantarkan kita ke tempat yang berbeda. Inilah rekayasa takdir. Dia selalu tau yang terbaik, sekalipun kita nggak pernah berpikir sejauh itu.  Dia menginginkan kita berjalan sendiri-sendiri meskipun kita terlalu sulit melakukannya karena kita berpikir (yakin) kita sama. Namun, kita nggak akan pernah mampu memprotes Dzat pengatur alur waktu. Kita takluk. Kita nggak bisa melakukan hal lain karena kita nggak kuasa.
Dan jika saat ini ku meneteskan air mata melihat pohon mangga yang  masih berdiri tegak di dekat tikungan ini, itu adalah hal yang wajar terjadi. Ya… pohon mangga ini, yang pernah menjadi saksi bahwa kita pernah mengukir kenangan di masa lalu, masa kecil kita, 6 – 12 tahun lalu. Dan jika ku masih mendengar percakapan kita di masa lalu di bawah pohon mangga ini ketika kita beristirahat (bermain) sepulang sekolah, itu karena aku nggak mampu melupakan kenangan kita.
Ku masih mengingat semuanya. Saat kita pulang pergi sekolah bersama-sama. Saat kita kehujanan sepulang sekolah. Saat kita berdiskusi di perpustakaan sekolah. Saat kau mengajariku membuat puisi, kita bersajak tentang kupu-kupu. Aku masih mampu mendengar suaramu saat itu, Gun. Aku adalah orang yang paling mengagumi kemampuanmu membaca puisi, sekalipun di balik semua itu aku sangat iri padamu. Kamu selalu bisa s’gala hal yang ditawarkan sekolah. Tapi aku???
Kau selalu ada saat aku membutuhkanmu. Kau selalu menemaniku dalam suka dan duka. Kau tetap setia menemaniku sekalipun banyak pihak-pihak yang berpikir picik tentang kita. Kau tak pernah peduli pada mulut-mulut monyong yang selalu berceloteh tentang kita. Kaulah orang yang mampu membuatku kuat. Kaulah orang yang mampu mengangkatku lebih tinggi saat ku terjatuh. Hingga ku selalu tegar menghadapi liku hidup yang ku hadapi.
Gun, semua itu membuatku begitu takut jika takdir menjemput kita untuk berpisah. Karena ku tahu terlalu sulit menemukan jiwa sepertimu. Dalam sujudku ku memohon pada-Nya agar kita tak pernah terpisah. Saat ku yakin Ilahi mengabulkan doaku, ku bersemangat dan berani untuk hidup lebih lama. Ku rela tahun-tahun berganti karena ku yakin ada kamu temaniku. Tapi ketika keyakinan itu terhalau keraguan, ku mulai takut jika tahun-tahun berganti dan di tahun-tahun selanjutnya….
Ilahi tak mengabulkan doa kita. Kita benar-benar jauh. Namun ku bangga padamu, Gun! Kaulah yang membuatku mampu untuk tidak meneteskan air mata saat kau pamit_di dekat tikungan ini. Karena ku yakin, suatu saat nanti kita pasti bisa bersama lagi. Tapi kau tahu, Gun! Ketika gerimis itu berganti hujan, saat sosokmu lenyap dari pandanganku, ku tak mampu lagi menepis kesedihan hingga ku tak kuasa menahan titik-titik bening itu mengalir di pipiku.
Saat itu ku amat menyesali ulah takdir_ ku benar-benar tenggelam dalam kesedihan. Bahkan bukan hanya saat itu. Sampai berhari-hari setelah itu ku begitu takut untuk hidup lebih lama. Ku ingin waktuku segera tiba. Atau jika tidak, ku ingin waktu cepat-cepat berlalu dan tahun-tahun segera berganti kembali.
Aku baru bisa bangkit kembali setelah ku ingat dan ku sadar dua hal.  “Perpisahan pasti dialami oleh tiap insane, lalu kenapa ku harus kecewa jika itu cinta Ilahi? Saat ini ku berpisah denganmu, tapi bukan tidak mungkin jika takdir mempertemukanku denganmu kembali. Kenapa ku harus takut jika suatu saat nanti ku bisa bersamamu?” Aku percaya Ilahi akan mempertemukan kita kembali. Ku arungi hidup ini dengan keyakinan itu, Gun! Ku yakin Ilahi selalu tau yang terbaik untuk kita.
Ku merasa beruntung memiliki hati yang ikhlas untuk selalu yakin pada kehendak-Nya. Aku bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman baru yang begitu baik setelah itu. Mereka menerimaku sebagai teman, adik bahkan juga sebagai saudara. Mestinya aku bisa melupakanmu_karena kehadiran mereka. Tapi tetap terlalu sulit untuk menghapus memoryku tentangmu.  Bukan dari pikiranku, Gun, melainkan dari hatiku. Mereka menempati ruang lain di hatiku, Gun. Aku tidak pernah mampu  menempatkan mereka di tempat dimana ku menempatkanmu di hatiku.
Dan ketika kita bertemu 2 tahun setelah itu, aku tidak mampu menyembunyikan kerinduanku padamu. Tapi ku sadar bahwa pertemuan itu hanya untuk sementara dan kebetulan karena kamu mengunjungi pamanmu yang dekat dengan rumahku. Kenyataannya kamu memamng dating untuk menemuiku dan juga untuk pamit pulang. Aku tau kamu juga merindukanku, Gun! Aku melihat bias-bias kerinduan itu di matamu. Aku juga hera kenapa gak ada yang berubah dalam sikap kita. Cara kita ngomong, cara kita berbagi senyum, semua tetap sama seperti sebelum perpisahan itu. Tapi sudahlah! Ku gak tau itu kebetulan atau gimana. Ku hanya bersyukur Ilahi mempertemukan kita meski hanya sebentar. Ku rasa kau hadir di saat yang tepat. Saat ku sedang kebingungan untuk membalas tumpukan surat cinta dari beberapa cowok yang kuterima 3 hari sebelumnya.entahlah kenapa ku merasa beruntung bisa berbesar hati menolak mereka dengan berbagai alasan yang salah-satunya karena persahabatan kita.
Gun,  pohon mangga dekat tikungan ini masih berdiri kokoh. Tapi ku tak pernah tau sekokoh pohon mangga ini jugakah hati kita dalam menjaga apa yang pernah kita rangkai dalam masa kecil kita dulu? Desir angin juga masih sesejuk dulu. Tapi ku tak pernah tau masihkah kau merasakannya? Semuanya terlalu lama, Gun! Jika di antara kita ada yang bderubah, itu adalah hal yang sangat wajar. Kita hanya bisa bertemu sehari dalam setahun. Selebihnya tak pernah ada komunikasi antara kita. Aku terlalu sibuk dalam kegiatan sekolah. Apa lagi ketika aku SMA, istirahat pun serba pas-pasan. Waktuku tersita dengan organisasi dan belajar. Tentu saja aku kesulitan untuk menulis surat untukmu.  Kamu pun tak pernah mengirim surat atau apapun padaku. Yach…mungkin kita sama-sama sibuk.
Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada hatiku. Apakah hatiku telah merubah posisimu menjadi orang yang lebih penting selain sekedar sahabat, aku tak pernah menyadarinya. Ku hanya merasakan keanehan dalam hidupku. Ku beruntung memiliki teman yang banyak dan kebanyakan teman cowok. Bahkan aku tak terlalu suka punya banyak teman cewek. Bagiku teman cowok lebih nyambung diajak ngobrol dan nggak kebanyakan basa-basi kaya’ cewek. Tapi satu hal yang membuatku paling berbeda dari cewek lain selain faktor teman. Ku tak bisa memposisikan seseorang (cowok) untuk menjadi orang yang special dalam hidupku.